Rabu, April 22, 2009

Presiden Harus Kendalikan Peredaran Rokok

Tidak segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control atau FCTC, Presiden dan DPR digugat kelompok masyarakat perduli bahaya rokok. FCTC dinilai penting untuk mengendalikan peredaran rokok

Presiden Susilo Bambang Yudoyono kembali menjadi sasaran gugatan kelompok masyarakat (legal standing). Orang nomor satu di Indonesia itu tidak sendirian, karena DPR pun turut digugat. Kelompok masyarakat itu adalah Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Yayasan Kemitraan Indonesia (KuIS), Lembaga Menangulangi Masyarakat Merokok (LM3) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Keempatnya tergabung dalam Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Persidangan perdananya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (9/10), kemarin.

Gugatan digulirkan lantaran presiden dan DPR dinilai melakukan perbuatan melawan hukum terkait pengendalian peredaran tembakau di Indonesia. Presiden dianggap tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk melindungi rakyat Indonesia dari bahaya rokok. Yakni, kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau dan asap tembakau.

Salah satunya dengan tidak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal Indonesia terlibat aktif dalam pembahasan FCTC di Jenewa Swiss dari awal hingga akhir. Hingga kini FCTC menjadi hukum internasional dan telah diratifikasi 157 negara. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik yang tidak meratifikasi FCTC.

Nasib Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau yang notabene isinya 95 % mirip dengan FCTC hingga kini masih menggantung. Forum Parlemen Indonesia selaku penggagas draft undang-undang tersebut sudah mengantongi 257 anggota DPR atau 41 % untuk memasukan RUU itu dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2008/2009. Meski demikian, Badan Legislatif (Baleg) DPR menolak memasukan RUU itu ke Prolegnas. Baleg menilai RUU itu tidak penting dimasukan dalam Prolegnas.

Fakta Hukum Bahaya Rokok

Penggugat dari kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu mendalilkan industri rokok terbukti melakukan eksploitasi kemiskinan masyarakat Indonesia. Dalil ini bukan isapan jempol belaka. Nyatanya, dari 73,8 persen kepala keluarga rumah tangga miskin perkotaan adalah perokok. Hasil Surveri Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 membuktikan pengeluaran rokok per minggu 22 % lebih tinggi dari pengeluaran untuk membeli beras yang hanya 19 %.

Begitupula dengan biaya pengeluaran rokok dengan biaya pendidikan. Perokok dari masyarakat miskin membelanjakan 12 % pengeluaran setiap bulannya untuk membeli rokok. Sementara, mereka keberatan untuk membiayai pendidikan anaknya. Contohnya adalah seorang petani di Wonosobo. Ia menghabiskan Rp274 ribu per bulan untuk merokok, tapi keberatan atas biaya SPP anaknya yang hanya Rp7.000 per bulan.

Dari sisi kesehatan, bukan rahasia lagi kalau rokok bisa menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung dan paru-paru. Tidak itu saja, kerugian yang ditimbulkan dari biaya pengobatan tidak sedikit. Belum lagi, potensial pendapatan yang hilang karena mengidap penyakit akibat rokok.

Jumlah perokok di Indonesia tidak pernah surut. Bahkan di kalangan remaja laki-laki berumur 15-19 tahun meningkat 139,4 % selama tahun 1995-2004. Sementara perokok perempuan pada kelompok umur yang sama meningkat lebih dari enam kali lipat selama periode tersebut. Bisa jadi ini disebabkan maraknya iklah rokok di media. Belanja iklan rokok di media massa mencapai Rp1,6 triliun pada tahun 2006 dan meningkat pada 2007 yatiu Rp1,5 triliun.

Meski jumlah perokok meningkat, cukai rokok di Indonesia rendah. Cukai rokok yang mengalir ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak digunakan untuk mengendalikan peredaran rokok. Tapi untuk pembangunan. “Ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai adalah ‘pajak dosa’ yang seharusnya dialokasikan untuk membatasi dan mengendalikan bahaya rokok,” begitu bunyi gugatan penggugat.

Melanggar Hukum

Tindakan pemerintah yang menutup mata terhadap bahaya rokok dinilai melanggar seabrek peraturan perundang-undangan. Yakni Pasal 28 dan 34 UUD 1945 serta Pasal 6,9,44, 74 UU No. 23/1992 tentang Kesehatan. Dari sisi hak asasi manusia, presiden dan DPR dituding melanggar Pasal 9, 11, 12, 52, 62, 71, 72 UU HAM. Dari sisi perlindungan anak, para tergugat melanggar Pasal 59 UU No. 23/2002.

Bukan hanya itu. Dari sisi ekonomi sosial budaya, para penguasa dinilai melanggar Pasal 2,7,11, dan 12 UU No. 11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economis, Social and Cultural Rights. Terakhir, dari sisi perpajakan, presiden dan DPR dinilai menabrak Pasal 2 ayat (1) UU No. 39/2007 tentang Cukai.

Penggugat menuntut agar para tergugat segera meratifikasi FCTC selambat-lambatnya enam bulan sejak putusan perkara ini dibacakan. Selain itu, tergugat juga dituntut untuk membuat dan mengesahkan UU tentang pengendalian Dampak Tembakau, dalam kurun waktu yang sama.

Persidangan perkara ini akan dilanjutkan, Rabu (13/10) pekan depan, dengan agenda pemanggilan DPR sebagai tergugat II atau kuasa hukumnya. Pasalnya DPR tidak hadir dalam persidangan pembacaan gugatan.

2 komentar:

Kurniadi Bulhani mengatakan...

postingan ok nih,,,ya namanya juga ketagihan,aku turut prihatin karena banyak masyarakat yang mau berharnti rokok,tapi mereka udah ketagihan...untuk generasi penerus undang-undang rokok ini harus ditegakkan biar tidak kecanduan rokok.

Arif Syaifudin mengatakan...

trims komentarnya.
salam,